Minggu, 23 September 2012

Silabus Pembelajaran Georafi

Silabus Pembelajaran Geografi ini disadur dari UPI

alasan menyadur, karena Program Studi Pendidikan Geografi FKIP UNIHAZ merujuk pada Jurusan Pendidikan Geografi UPI, dan atau UPI adalah icon perguruan tinggi bidang pendidikan di Indonesia.

silabus ini untuk dipedomani oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Geografi FKIP UNIHAZ


SILABUS

1. Identitas mata kuliah
Mata Kuliah : Evaluasi Pembelajaran Geografi
Jumlah sks : 3 sks
Semester : 5   Kelompok mata kuliah : MKDP
Jurusan/Program : Pendidikan Geografi/S1

Dosen : Dr. Dodo Sutardi, M.Pd


2. Tujuan
Selesai mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan prinsip-prinsip, konsep-konsep, dan teori-teori evaluasi pembelajaran sehingga memiliki wawasan pengetahuan dan keahlian dalam membuat instrumen pengukuran, melaksanakan pengukuran, menganalisis data hasil pengukuran baik dengan prosedur kuantitatif maupun kualitatif serta mengambil keputusan pembelajaran yang efektif, sebagai bekal calon guru dan tenaga kependidikan yang profesional.

3. Deskripsi
Mata kuliah Evaluasi Pembelajaran Geografi merupakan mata kuliah lanjut bagi mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi S1 yang mengkaji tentang prinsip-prinsip pengukuran dan penilaian, pelaksanaan pengukuran, serta pengambilan keputusan berkaitan dengan pembelajaran Geografi. Kompetensi yang diharapkan adalah membentuk penguasaan dalam membuat instrumen pengukuran, melaksanakan pengukuran, menganalisis data hasil pengukuran baik dengan prosedur kuantitatif maupun kualitatif serta mengambil keputusan pembelajaran yang efektif. Materi perkuliahan meliputi pengertian, jenis dan fungsi evaluasi, penilaian bentuk tes dan non tes, penyusunan instrumen penilaian, validitas dan reliabilitas instrumen, cara pengolahan hasil pengkururan, serta cara menentukan hasil belajar untuk pengambilan keputusan dalam pembelajaran Geografi.

4. Pendekatan pembelajaran
Untuk memberikan pengalaman belajar yang optimal, maka selama perkuliahan ini dilakukan beberapa metode pembelajaran, yaitu:
a. Diskusi
b. Ceramah dan tanya jawab
c. Latihan terstruktur
d. Pengumpulan data lapangan
e. Pembuatan laporan
f. Penyajian laporan di kelas

5. Evaluasi
Keberhasilan mahasiswa dalam perkuliahan ini ditentukan oleh prestasi yang bersangkutan dalam:
a. kehadiran pada perkuliahan : 10%
b. partisipasi kegiatan di kelas : 10%
c. laporan dan penyajian : 20%
d. UTS : 25%
e. UAS : 35%

6. Rincian materi perkuliahan tiap perkuliahan
Pertemuan 1 : Membahas silabus perkuliahan dan mengakomodasi berbagai masukan dai mahasiswa untuk memberi kemungkinan revisi terhadap pokok bahasan. Pada pertemuan kali ini dikemukakan pula tujuan, ruang lingkup, prosedur perkuliahan, penjelasan tentang tugas yang harus dilakukan mahasiswa, ujian yang harus diikuti termasuk jenis soal dan cara penyelesaian, serta sumber-sumber yang mendukung perkuliahan ini.
Pertemuan 2 : Hakikat evaluasi pembelajaran Geografi, meliputi: (a) Kedudukan dan peran evaluasi dalam pembelajaran Geografi, (b) Perbedaan penilaian dan pengukuran, (c) aspek-aspek yang dinilai dalam pembelajaran, serta (d) Jenis dan fungsi evaluasi.
Pertemuan 3 : Alat Evaluasi, meliputi: (1) rasional penggunaan alat dalam evaluasi, (2) macam-macam alat evaluasi/penilaian, serta (3) fungsi dan kebergunaan masing-masing jenis alat evaluasi.
Pertemuan 4 : Pengembangan alat penilaian tes tertulis bentuk objektif yang meliputi: (1) bentuk-bentuk soal, (2) keunggulan dan kelemahan masing-masing bentuk tes, serta (3) kaidah-kaidah penulisan butir soal tes objektif.
Pertemuan 5 : Lanjutan pengembangan alat penilaian tes tertulis bentuk objektif yang meliputi: (1) indikator soal yang baik, (2) penyusunan alat penilaian bentuk tes pilihan ganda.
Pertemuan 6 : Telaah alat penilaian, meliputi kajian terhadap soal yang sudah disusun dengan mengambil beberapa contoh soal yang disusun para guru untuk dikritisi keunggulan dan kelemahan yang ada berdasarkan indikator-indikator soal yang baik.
Pertemuan 7 : Ujian Tengah Semester



Pertemuan 8 : Pengembangan alat penilaian tes perbuatan (praktik) pembelajaran Geografi, meliputi: (1) bentuk-bentuk penilaian untuk berbagai praktik seperti pemetaan, praktik lapangan, dan partisipasi di kelas, (2) jenis alat penilaian praktik, (3) cara penyusunan alat praktik, serta (4) validitas dan reliabilitas alat praktik.
Pertemuan 9 : Pengembangan alat penilaian tes bentuk essay, meliputi: (1) keunggulan dan kelemahan penilaian essay, (2) cara mengantisipasi kelemahan penilaian bentuk essay, serta (3) cara penyusunan tes bentuk essay.
Pertemuan 10 : Pengembangan penilaian non tes, meliputi: (1) wawancara, (2) observasi, (3) sikap dan minat, serta (4) penilaian portofolio.
Pertemuan 11 : Validitas dan reliabilitas alat, meliputi: (1) pentingnya validitas dan reliabilitas alat evaluasi, (2) jenis validitas dan reliabilitas, (3) cara-cara perhitungan validitas dan reliabilitas alat evaluasi.
Pertemuan 12 : Sistem penilaian, meliputi: (1) Penilaian Acuan Normatif (PAN) dan Patokan (PAP), (2) fungsi PAN dan PAP, serta (3) Penggunaan PAN dan PAP.
Pertemuan 13 : Penentuan nilai akhir dan pelaporan hasil belajar, meliputi: (1) fungsi nilai akhir, (2) faktor-faktor yang menentukan nilai akhir, (3) perhitungan nilai akhir, serta (4) cara penyusunan pelaporan hasil belajar.
Pertemuan 14 : Praktik validitas dan reliabilitas alat penilaian dengan menggunakan program komputer Excel, SPSS, dan Iteman.
Pertemuan 15 : Lanjutan praktik valliditas dan reliabilitas alat penilaian dengan menggunakan program Excel,SPSS, dan Iteman.
Pertemuan 16 : Ujian Akhir Semester


7. Referensi
Awan Mutakin dkk. (1988). Penilaian Dalam Pendidikan, Bandung: IKIP Bandung.
Gable K, Robert. (1966). Instrument Development in Affective Domain, Boston: Kluwer-Nijhoff Pub.
Gronlund, Norman E. (1970). Measurement and Evaluation in Teaching, N.Y.: MacMillan Pub. Co.
Popham, James. (1981). Modern Educational Measurement. London: Prentice-Hall Inc.
Subino. (1987). Konstruksi dan Analisis Tes: Suatu Pengantar Kepada Teori Tes dan Pengukuran, Jakarta Depdikbud.
Suharsimi. (1987). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Yogyakarta: Bumi Aksara.

Sabtu, 22 September 2012

Langkah menyususn Instrumen

Sebagian besar guru-guru (dari pengalaman saya memberikan pelatihan, atau perkuliahan pada program S2  bidang  Pendidikan), kalau ditanya apa bedanya tes objektif dengan tes subjekfi. Mereka pada umumnya menjawa. Tes objektif itu bentuk pilihan ganda sedang tes subjektif, itu bentuk uraian. Saya tanya lagi,  kalau bentuk tes isian singkat, apa itu objektif atau subjektif, pasti jawabannya bergam ada yang bilang subjektif, ada yang objektif.

Yang benar,  ukuran objektif atau subjektif sebuah bentuk tes, adalah  skor yang akan diberikan oleh sipenilai  hasil ujian. Jika terhadap lembaran jawaban akan memeberikan sekor yang sama, siapapun dan berapapun orang yang memeriksa lembar jawaban tersebut, karena di memeliki kunci jawaban yang pasti. Sementara pada bentuk tes subjektif tidak mengkin skor yang sama diberikan oleh penialai yang berbeda, karena tidak ada kunci jawaban yang pasti untuk sebuah bentuk tes subjektif.

Masalah lain yang sering tidak diketahui oleh para guru adalah perbedaan intrumen tes dan non tes. Ketka ditanya hal itu, pasti jawabannya   contoh soal . Apa bedanya alat ukur tes dengan non tes, sebagian besar guru menjawab, kalau non tes itu wawancara, kalau non tes itu adalah angket. Padahal angket dan wawancara fungsi dan tujuannya sama. 
Jawaban yang benar adalah, bahwa unkuran perbedaan tes dengan non tes terletak pada kunci jawaban, Jika untuk tes, pasti ada jawaban yang harus benar, smentara non tes tidak ada kunci jawaban,  jawaban diserahkan pada responden dan tidak ada patokan dan tuntutan jawaban benar.

Bagaimana dengan perbedaan Pengukuan, penelialain dan evaluasi. ha ini jarang dipahami oleh para guru. Semestinya para guru bukan sekedar praktis diajari cara membuat butir soal saja , tapi seharusnya mereka diajari juga filosofinya. Misalnya saya pernah menanyakan tantang kisi-kisi soal. Kenapa dan kisi itu harus dicantumkan kompetensi dasar. sedikit sekali guru yang dapat menjawab pertenyaan itu. Padahal semestinya itu sudah harus dipahami oleh guru, apalagi guru yang sudah disertifikasi.

Terakhir (karena saya dimita untuk menyampaikan materi cara menyusun istrumen) saya tanya pada guru-guru. bagaimana langkah menyususn butir soal? Ttidak banyak yang bisa menjawab, dan yang menjawabpun tidak lengkap. 

Jadi selama ini, kalau membuat soal bagaimana, jawabannya langsung lihat buku paket, lalu buat soal  dengan mengacu pada uraian  materi atau mencontoh soal yang sudah ada. Yang benar langkah-langkah membuat soal adalah.... besok lanjutkan, saya mo nguji proposal mahasiswa dulu.
 

Jumat, 14 September 2012

TEKNIK PENILAIAN DAN PROSEDUR PENGEMBANGAN TES

Tulisan ini disadur dari PANDUAN PENULISAN BUTIR SOAL (Sumber: BSNP)
A. Teknik Penilaian
Ada beberapa teknik dan alat penilaian yang dapat digunakan pendidik
sebagai sarana untuk memperoleh informasi tentang keadaan belajar peserta
didik. Penggunaan berbagai teknik dan alat itu harus disesuaikan dengan
tujuan penilaian, waktu yang tersedia, sifat tugas yang dilakukan peserta
didik, dan banyaknya/jumlah materi pembelajaran yang sudah disampaikan.
Teknik penilaian adalah metode atau cara penilaian yang dapat digunakan
guru untuk rnendapatkan informasi. Teknik penilaian yang memungkinkan
dan dapat dengan mudah digunakan oleh guru, misalnya: (1) tes (tertulis,
lisan, perbuatan), (2) observasi atau pengamatan, (3) wawancara.
1. Teknik penilaian melalui tes
a. Tes tertulis
Tes tertulis adalah tes yang soal-soalnya harus dijawab peserta didik
dengan memberikan jawaban tertulis. Jenis tes tertulis secara umum
dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1) tes objektif, misalnya bentuk pilihan panda, jawaban singkat atau
isian, benar salah, dan bentuk menjodohkan;
2) tes uraian, yang terbagi atas tes uraian objektif (penskorannya
dapat dilakukan secara objektif) dan tes uraian non-objektif
(penskorannya sulit dilakukan secara objektif).
b. Tes lisan
Tes lisan yakni tes yang pelaksanaannya dilakukan dengan
mengadakan tanya jawab secara langsung antara pendidik dan
peserta didik. Tes ini memiliki kelebihan dan kelemahan.
Kelebihannya adalah: (1) dapat menilai kemampuan dan tingkat
pengetahuan yang dimiliki peserta didik, sikap, serta kepribadiannya
karena dilakukan secara berhadapan langsung; (2) bagi peserta didik
yang kemampuan berpikirnya relatif lambat sehingga sering
mengalami kesukaran dalam memahami pernyataan soal, tes bentuk
ini dapat menolong sebab peserta didik dapat menanyakan langsung
kejelasan pertanyaan yang dimaksud; (3) hasil tes dapat langsung
diketahui peserta didik. Kelemahannya adalah (1) subjektivitas
pendidik sering mencemari hasil tes, (2) waktu pelaksanaan yang
diperlukan relatif cukup lama.
c. Tes perbuatan
Tes perbuatan yakni tes yang penugasannya disampaikan dalam
bentuk lisan atau tertulis dan pelaksanaan tugasnya dinyatakan
dengan perbuatan atau unjuk kerja. Penilaian tes perbuatan
dilakukan sejak peserta didik melakukan persiapan, melaksanakan
tugas, sampai dengan hasil yang dicapainya. Untuk menilai tes
perbuatan pada umumnya diperlukan sebuah format pengamatan,
Penulisan Butir Soal
7
yang bentuknya dibuat sedemikian rupa agar pendidik dapat
menuliskan angka-angka yang diperolehnya pada tempat yang sudah
disediakan. Bentuk formatnya dapat disesuaikan menurut keperluan.
Untuk tes perbuatan yang sifatnya individual, sebaiknya menggunakan
format pengamatan individual. Untuk tes perbuatan yang
dilaksanakan secara kelompok digunakan format tertentu yang sudah
disesuaikan untuk keperluan pengamatan kelompok.
2. Teknik penilaian melalui observasi atau pengamatan
Observasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan pendidik untuk
mendapatkan informasi tentang peserta didik dengan cara mengamati
tingkah laku dan kemampuannya selama kegiatan observasi berlangsung.
Observasi dapat ditujukan kepada peserta didik secara perorangan atau
kelompok. Dalam kegiatan observasi perlu disiapkan format pengamatan.
Format pengamatan dapat berisi: (1) perilaku-perilaku atau kemampuan
yang akan dinilai, (2) batas waktu pengamatan.
3. Teknik penilaian melalui wawancara
Teknik wawancara pada satu segi mempunyai kesamaan arti dengan tes
lisan yang telah diuraikan di atas. Teknik wawancara ini diperlukan
pendidik untuk tujuan mengungkapkan atau menanyakan lebih lanjut
hal-hal yang kurang jelas informasinya. Teknik wawancara ini dapat pula
digunakan sebagai alat untuk menelusuri kesukaran yang dialami peserta
didik tanpa ada maksud untuk menilai.
Setiap teknik penilaian harus dibuatkan instrumen penilaian yang sesuai.
Tabel berikut menyajikan teknik penilaian dan bentuk instrumen.
Tabel 1. Teknik Penilaian dan Bentuk Instrumen
Teknik Penilaian Bentuk Instrumen
• Tes tertulis
• Tes pilihan: pilihan ganda, benar-salah,
menjodohkan dll.
• Tes isian: isian singkat dan uraian
• Tes lisan
• Daftar pertanyaan
• Tes praktik (tes kinerja)
• Tes identifikasi
• Tes simulasi
• Tes uji petik kinerja
• Penugasan individual atau
kelompok
• Pekerjaan rumah
• Projek
• Penilaian portofolio
• Lembar penilaian portofolio
• Jurnal • Buku cacatan jurnal
• Penilaian diri • Kuesioner/lembar penilaian diri
• Penilaian antarteman • Lembar penilaian antarteman
Penulisan Butir Soal
8
B. Prosedur Pengembangan Tes
Sebelum menentukan teknik dan alat penilaian, penulis soal perlu
menetapkan terlebih dahulu tujuan penilaian dan kompetensi dasar yang
hendak diukur. Adapun proses penentuannya secara lengkap dapat dilihat
pada bagan berikut ini.
MENENTUKAN TUJUAN PENILAIAN
MEMPERHATIKAN STANDAR KOMPETENSINYA
MENENTUKAN KD-NYA (KD1 + KD2 + KD3 DLL)
TES
NON TES
MENENTUKAN MATERI PENTING/
PENDUKUNG KD : UKRK
- PENGAMATAN/
OBSERVASI
(SIKAP,
PORTFOLIO, LIFE
SKILLS)
- TES SIKAP
- DLL
TEPAT DIUJIKAN SECARA
TERTULIS/LISAN?
BENTUK
URAIAN
BENTUK
OBJEKTIF
(PG, ISIAN,
DLL)
TEPAT TIDAK TEPAT
TES PERBUATAN
- KINERJA (PERFORMANCE)
- PENUGASAN (PROJECT)
- HASIL KARYA (PRODUCT)
- DLL
IKUTI KAIDAH PENULISAN SOAL DAN SUSUNLAH PEDOMAN PENSKORANNYA
Keterangan: KD = Kompetensi Dasar
KD1 + KD2 = Gabungan antar kompetensi dasar
UKRK = Urgensi, Kontinuitas, Relevansi, Keterpakaian
Penulisan Butir Soal
9
Langkah-langkah penting yang dapat dilakukan sebagai berikut.
1. Menentukan tujuan penilaian. Tujuan penilaian sangat penting karena
setiap tujuan memiliki penekanan yang berbeda-beda. Misalnya untuk
tujuan tes prestasi belajar, diagnostik, atau seleksi. Contoh untuk tujuan
prestasi belajar, lingkup materi/kompetensi yang ditanyakan/diukur
disesuaikan seperti untuk kuis/menanyakan materi yang lalu, pertanyaan
lisan di kelas, ulangan harian, tugas individu/kelompok, ulangan semester,
ulangan kenaikan kelas, laporan kerja praktik/laporan praktikum, ujian
praktik.
2. Memperhatikan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD).
Standar kompetensi merupakan acuan/target utama yang harus dipenuhi
atau yang harus diukur melalui setiap kompetensi dasar yang ada atau
melalui gabungan kompetensi dasar.
3. Menentukan jenis alat ukurnya, yaitu tes atau non-tes atau
mempergunakan keduanya. Untuk penggunaan tes diperlukan penentuan
materi penting sebagai pendukung kompetensi dasar. Syaratnya adalah
materi yang diujikan harus mempertimbangkan urgensi (wajib dikuasai
peserta didik), kontinuitas (merupakan materi lanjutan), relevansi
(bermanfaat terhadap mata pelajaran lain), dan keterpakaian dalam
kehidupan sehari-hari tinggi (UKRK). Langkah selanjutnya adalah
menentukan jenis tes dengan menanyakan apakah materi tersebut tepat
diujikan secara tertulis/lisan. Bila jawabannya tepat, maka materi yang
bersangkutan tepat diujikan dengan bentuk soal apa, pilihan ganda atau
uraian. Bila jawabannya tidak tepat, maka jenis tes yang tepat adalah tes
perbuatan: kinerja (performance), penugasan (project), hasil karya
(product), atau lainnya.
4. Menyusun kisi-kisi tes dan menulis butir soal beserta pedoman
penskorannya. Dalam menulis soal, penulis soal harus memperhatikan
kaidah penulisan soal.
C. Penentuan Materi Penting
Langkah awal yang harus dilakukan dalam menyiapkan bahan ulangan/ujian
adalah menentukan kompetensi dan materi yang akan diujikan. Setelah
menentukan kompetensi yang akan diukur, maka langkah berikutnya adalah
menentukan materi yang akan diujikan. Penentuan materi yang akan diujikan
sangat penting karena di dalam satu tes tidak mungkin semua materi yang
telah diajarkan dapat diujikan dalam waktu yang terbatas, misalnya satu
atau dua jam. Oleh karena itu, setiap guru harus menentukan materi mana
yang sangat penting dan penunjang, sehingga dalam waktu yang sangat
terbatas, materi yang diujikan hanya menanyakan materi-materi yang sangat
penting saja. Materi yang telah ditentukan harus dapat diukur sesuai dengan
alat ukur yang akan digunakan yaitu tes atau non-tes.
Penulisan Butir Soal

Minggu, 09 September 2012

Pengukuran Sikap Soaial

Ketika seorang mahasiswa berada dalam lingkungan dan situasi sosial, misalnya dalam interaksi antara dosen dan mahasiswa, mahasiswa dan mahasiswa dalam situasi pembelajaran, maka saat itu akan muncul rasa suka atau tidak terhadap mitra interaksi. Sulit kiranya suatu situasi interaksi terlepas dari unsur penilaian dari masing-masing komponen yang terlibat dalam interaksi tersebut.

Suatu pola jalinan individu dan atau kelompok yang membentuk kesatuan berdasarkan aturan-aturan sekalipun seperti dalam proses pembelajaran, selalu saja ada mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan, dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku setiap individu terhadap manusia atau sesuatu yang sedang dihadapi, bahkan terhadap dirinya sendiri. Pandangan dan perasaan dipengaruhi oleh apa yang diketahui dan kesan terhadap apa yang sedang dihadapi saat itu. Itulah phenomena sikap yang timbulnya tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi juga oleh kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi saat sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang.

a. Makna Sikap Sosial

Sikap sosial adalah apresiasi nilai sosial individu dalam kelompok sebagai hasil komunikasi antara anggota kelompok,(The appreciation of the social value is an attitude. If it is general in the group, as a result of communication, it is a social attitude.[1] Nilai sosial banyak didefinisikan oleh para ahli sosiologi dan antropologi, diantaranya Reven memberikan makna nilai sosial sebagai seperangkat sikap masyarakat yang dihargai sebagai suatu kebenaran dan dijadikan standar untuk bertingkah laku guna memperoleh kehidupan masyarakat yang harmonis..[2] Winecoff menegaskan, bahwa nilai-nilai sosial terdiri atas sejumlah sikap terhadap sosial yang dijadikan pertimbangan untuk melakukan tindakan.[3] Adapun sosial merupakan suatu pola jalinan individu atau kelompok yang membentuk kesatuan berdasarkan aturan-aturan, nilai-nilai dan norma-norma yang dianut bersama.[4] Nilai-nilai tersebut diperoleh dari pengalaman setelah berinteraksi dengan orang lain.[5] Reven menjelaskan unsur-unsur nilai-nilai sosial , bahwa nilai-nilai sosial terdiri atas: (1) kasih sayang (pengabdian, tolong menolong, kekeluargaan, kesetiaan, kepedulian); (2) tanggung jawab (rasa memiliki, disiplin, dan empati); (3) keserasian hidup (keadilan, toleransi, kerjasama, dan demokrasi).[6] Devito mengemukakan nilai-nilai sosial yang sering dijadikan dasar seseorang dalam berinteraksi (akan dijadikan indikator pengukuran sikap sosial dalam penelitian ini) adalah : (1) keterbukaan, (2) Empati, (3) komunikasi, (4) kerjasama.[7]

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami keterkaitan yang erat antara sikap, sikap sosial dan nilai-nilai sosial. Sikap sosial merupakan apresiasi nilai individu dalam kelompok sebagai hasil komunikasi. Apresiasi nilai itu timbul karena ada komunikasi, sementara nilai-nilai sosial itu ada sebagai hasil interaksi. Interaksi yang menjadi sebuah pengalaman, membentuk sebuah sikap. Dalam kaitan ini maka Baron menjelaskan, bahwa pada umumnya Psikolog Sosial menggunakan istilah sikap (attitude) untuk merujuk pada evaluasi kita terhadap berbagai aspek dunia sosial termasuk nilai-nilai sosial (misalnya Fazio dan& Roskos Edward, 1994, Tesser & Martin, 1996), serta bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka terhadap isu, ide, orang, kelompok sosial.[8] Hal ini dapat dipahami bahwa objek sikap adalah selalu berorientasi pada sosial,[9] Dengan demikian, makna sikap identik dengan makna sikap sosial, yakni respon evaluatif (positif atau negatif) seseorang terhadap nilai-nilai dalam masyarakat (kelompok), seperti keterbukaan, Empati, komunikasi, kerjasama, sebagai hasil interaksi

Definisi tentang sikap disampaikan dalam berbagai versi oleh para ahli Psikologi. Definisi atau pengertian itu dapat dimasukkan ke dalam salah satu di antara kerangka pemikiran. Pertama adalah kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli Psikologi, seperti Louis Thurstone (1928), Rensis Likert (1932). Menurut ke dua tokoh dalam bidang pengukuran sikap itu, sikap diartikan sebagai suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada suatu objek[10]. Secara khusus, Thurstone memformulasikan sikap sebagai derajat efek positif atau efek negatif terhadap suatu objek psikologi.[11]

Kerangka pemikiran kedua diwakili oleh para tokoh dalam bidang Psikologi Sosial dan Psikologi Kepribadian, seperti Gordon Allport (1935) dan tokoh lainnya seperti Chave (1928), Bogardus (1931), LaPiere (1934), dijelaskan, bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.[12]

Kelompok pemikiran ketiga adalah kelompok yang berorientasi kepada skema triadik (triadic scheme). Menurut pemikiran ini, suatu sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu reaksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Secord & Backman (1964), misalnya, mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afektif), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konatif) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitar.[13]

Selain pemikiran tersebut di atas, ada beberapa pendekatan tentang sikap yang dikemukakan oleh para ahli Psikologi Sosial. Pendekatan yang pertama dengan tokoh-tokoh seperti Breckler (1984), Katz & Stotland (1954), Rejecki, (1982), memandang sikap sebagai kombinasi reaksi kognitif, afektif dan perilaku terhadap suatu. Ketiga komponen itu secara bersama mengorganisasikan sikap individu. Pendekatan ini yang dikenal dengan triadic scheme, disebut juga pendekatan tricomponent. Pendekatan kedua yang dikenal dengan pendekatan singlecomponent dengan tokoh seperti Fishbein & Ajen (1980), Oskamp (1977), Petty &Cacocippo, (1981), dan Brehm & Kassin (1990), membatasi konsep sikap hanya pada aspek afektif saja. Mereka menjelaskan, sikap adalah afek atau penilaian - positif atau negatif terhadap suatu objek.[14]

Permasalahan dalam penelitian ini adalah penggunaan model penilaian terkait dengan hasil belajar, maka dalam hal ini adalah sikap mahasiswa terhadap proses belajar sebagai objek sosial. Dengan demikian yang dimaksud dengan sikap sosial dalam penelitian ini adalah respon evaluatif (positif atau negatif) mahasiswa terhadap nilai-nilai dalam proses pembelajaran seperti keterbukaan, Empati, komunikasi, kerjasama, sebagai hasil interaksi di antara komponen-komponen pembelajaran; dosen, mahasiswa, materi kuliah dan tujuan pembelajaran.

a. Pembentukan Sikap

Sikap sosial terbentuk karena adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih dari sekedar kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Lebih dari itu, interaksi sosial meliputi hubungan antara individu dengan lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis di sekelilingnya.

Dalam interaksi sosial individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap diantaranya; pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media masa, institusi atau lembaga pendidikan atau lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu.[15]

Menurut Beron: Sikap itu diadopsi dari orang lain melalui pembelajaran sosial (social learning). Banyak pandangan individu dibentuk saat berinteraksi dengan orang lain, atau hanya dengan mengobservasi tingkah orang lain. Pembelajaran sosial itu melalui beberapa proses, diantaranya: (1) Pembelajaran berdasarkan assosiasi (classical conditioning), (2) Belajar untuk mempertahankan pandangan yang benar (instrumental conditioning), (3) Pembelajaran dari observasi (belajar dari contoh), (4) Perbandingan sosial.[16]

Belajar sosial (social learning), salah satu teori belajar yang dikembangkan oleh Bandura. Teori belajar ini mengunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dengan orang lain, melalui observasi tentang dunia sosial, melalui interprestasi dari dunia itu diperoleh banyak informasi dan penampilan-penampilan keahlian yang kompleks dapat dipelajari.[17] Dalam pandangan belajar sosial, manusia tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam, dan juga tidak “dipukul” oleh stimulus-stimulus lingkungan, tetapi fungsi psikologi diterangkan sebagai interaksi yang continue dan timbal balik dari keterampilan-keterampilan pribadi dan determinan-determinan lingkungan.[18]

Proses pembelajaran berdasarkan assosiasi (classical conditioning). Adalah merupakan prinsip dasar psikologi bahwa ketika sebuah stimulus berulang-ulang diikuti oleh stimulus yang lain, stimulus pertama akan segera dianggap sebagai tanda-tanda bagi munculnya stimulus yang mengikutinya. Dengan kata lain, ketika stimulus pertama terjadi, seseorang akan menduga stimulus kedua akan segera muncul. Hasilnya secara bertahap individu akan memberikan reaksi yang sama pada stimulus pertama seperti reaksi yang mereka tunjukkan pada stimulus kedua, terutama jika stimulus kedua adalah stimulus yang menyebabkan reaksi yang cukup kuat dan otomatis.[19]

Contoh, setiap kali ujian tengah dan akhir semester matakuliah Metodologi Penelitian, mahasiswa diuji dengan soal objektif tes bentuk pilihan ganda (sesuai dengan ketentuan) dan isi materi cenderung sama. Untuk dapat menjawab soal yang dimaksud mahasiswa cukup mempelajari soal-soal yang lalu dan dengan demikian mereka dapat dikatakan lulus dengan baik. Proses ini terus terjadi dan berulang pada setiap ujian. Dalam hal ini ujian tengah atau akhir semester sebagai stimulus pertama memunculkan stimulus kedua yakni soal dalam bentuk dan materi yang sama, maka akan memunculkan respon yang sama dari mahasiswa sebagai sebuah sikap apatis untuk belajar dengan benar, karena tanpa belajar dengan benar, cukup dengan mempelajari soal lama atau nyontek lembar jawaban teman yang isinya huruf a, b, c, d, e mereka bisa lulus dengan nilai memuaskan.

Belajar dari contoh (pembelajaran dari observasi). Sikap dapat dibentuk ketika orang tua tidak bermaksud untuk mewariskan pandangan tertentu pada anak. Proses seperti itu disebut pembelajaran melalui observasi (observational learning). Hal ini terjadi ketika individu mempelajari bentuk tingkah laku atau pemikiran baru hanya dengan mengobservasi tingkah laku orang lain[20] Pembelajaran melalui observasi memainkan peran yang penting dalam pembentukan sikap, dalam banyak kasus anak mendengarkan orang tua mereka mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak pantas dia dengar, atau melihat orang tua melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan orang tua. Orang tua yang merokok, melarang anaknya untuk merokok saat menyalakan rokoknya, akan membentuk sikap tertentu pada diri anak. Contoh lain , anak maupun orang dewasa dapat dibentuk sikapnya oleh media masa, televisi, film, dan lain sebagainya.

Mengadopsi sikap yang diekspresikan atau ditunjukkan orang lain adalah sebuah mekanisme pembentukan sikap melalui perbandingan sosial (social comparison). Kecenderungan seseorang untuk membandingkan dirinya dengan orang lain untuk menentukan apakah pandangan dirinya terhadap kenyataan sosial benar atau salah. Sejauh pandangannya diterima orang lain, maka dia akan menganggap bahwa ide atau sikap itu benar[21] Sikap tidak acuh terhadap proses pembelajaran dipandang sikap yang tepat selama orang lainpun memandang dan cenderung berperilaku demikian.

Sikap juga dipengaruhi oleh genetika. Hal ini dapat dijelaskan, sebagai berikut, bahwa sikap itu dipengaruhi oleh pemikiran dan pemikiran terjadi di dalam otak, struktur otak dipengaruhi oleh faktor genetika in”[22] alasan yang lain bahwa genetika mempengaruhi sikap adalah, bahwa Hasil penelitian membuktikan sikap kembar identik berkorelasi lebih tinggi daripada sikap pada kembar non identik (Waller, dkk 1990).[23]

b. Teori Organisasi Sikap

Para ahli Psikologi Sosial sepakat bahwa salah satu karakteristik yang selalu ada pada pikiran manusia adalah kecenderungan untuk konsisten[24] Sebagai contoh, apabila kita tidak menyukai seseorang, maka kita cenderung untuk menilai jelek semua hal yang ada pada orang tersebut, dan secara tidak sadar kita akan mengabaikan setiap gagasan yang disampaikannya. Sebaliknya, apabila kita terbiasa untuk ber-prasangka baik, maka terhadap orang yang baru dikenal pun kita cenderung untuk berprasangka baik.

Pertentangan antara kecenderungan dalam bersikap dengan realitas sesaat akan mendatangkan ketidakseimbangan dalam diri. Agar keseimbangan ini terjaga, dibutuhkan untuk konsisten. Prinsip konsistensi inilah yang dijadikan landasan dalam menerangkan organisasi sikap manusia.

1) Teori Keseimbangan Heider

Teori keseimbangan (balance theory) yang dikemukakan oleh Fritz Heider merupakan formulasi yang paling awal dan sederhana dari prinsip konsistensi yang dianut dalam teori organisasi sikap. Teori ini timbul dari pendapat Heider tentang faktor-faktor yang mempengaruhi atribusi kausal suatu peristiwa terhadap seseorang. Keadaan keseimbangan atau ketidak seimbangan selalu melibatkan tiga unsur yaitu Individu (), orang lain (O), dan objek sikap (Ob). Pengertian keseimbangan atau adanya keseimbangan menunjuk kepada suatu situasi dimana hubungan di antara unsur-unsur yang ada berjalan harmonis sehingga tidak terdapat tekanan untuk mengubah keadaan.[25]

Apabila hubungan antar unsur-unsur berada dalam ketidak seimbangan maka akan timbul suatu kekuatan yang mendorong pengembalian keseimbangan. Apabila perubahan yang mengarah pada pengembalian keseimbangan itu tidak tercapai maka akan terjadi ketegangan, sedangkan bila perubahan mungkin terjadi maka hal itu dapat terjadi pada karakter dinamisnya, yaitu sikap I atau O, dan dapat pula terjadi pada fungsi hubungan di antara unsur-unsur yang bersangkutan.

Dengan memberi tanda ‘++’ untuk efek positif (positive affect) dan tanda ‘-‘ untuk efek negatif (negative affect), maka suatu keseimbangan akan dicapai bila hubungan di antara ketiga unsur tersebut ditunjukkan oleh tanda +++ atau --, yaitu bila ketiga-tiganya positif atau dua di antara ketiganya negatif. Contoh. apabila dua orang berteman (satu tanda + untuk fungsi hubungan antara unsur I dan O) dan keduanya memiliki sikap yang serupa terhadap rokok (karakter dinamis I dan Ob, sama dengan karakter dinamis O dan Ob, yaitu sama + atau sama -), maka diperoleh keseimbangan dalam bentuk +++ atau +--, apabila salah satu di antaranya kemudian berubah sikap, maka terjadi ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan ini menimbulkan ketegangan yang mendorong terjadinya perubahan arah keseimbangan hubungan di antara ketiga unsur tersebut. Perubahan yang mungkin terjadi adalah persahabatan mereka putus (tanda -+- atau --+), mereka akan saling berusaha mempengaruhi agar mitranya berubah sikap, atau salah satu di antaranya akan menyesuaikan sikapnya sehingga keseimbangan kembali seperti semula.

2) Teori Kesesuaian Osgood Tannenbaum

Pokok prinsip kesesuaian (congruity principle) yang dirumuskan oleh Osgood dan Tannenbaum (1955), mengatakan bahwa unsur-unsur kognitif mempunyai valensi positif negatif dalam berbagai intensitas, atau mempunyai valensi 0. Unsur-unsur yang relevan satu sama lain mempunyai hubungan positif maupun negatif. Kesesuaian akan terjadi apabila semua hubungan bervalensi nol atau bila dua di antaranya bervalensi negatif dengan intensitas yang sama.[26]

Secara teknis, dijelaskan dalam prinsip itu, bahwa apabila dua stimulus dipertemukan maka karakteristik reaksi dari stimulus yang satu akan bergeser ke arah penyesuaian dengan karakteristik stimulus yang lain. Besarnya pergeseran itu berbanding terbalik secara proporsional terhadap intensitas reaksi interaksi yang terjadi.[27]

Misalnya suatu reaksi evaluatif yang tidak tampak dapat diukur dengan menggunakan skala 7 titik sebagai berikut:

-3 -2 -1 0 1 2 3

tidak netral favorable

favorable

Menurut kesesuaian, semakin dalam intensitas reaksi evaluatif, yakni semakin jauh dari titik netral, maka semakin berkuranglah kecenderungan pergeseran reaksi ke arah yang berlawanan. Diasumsikan bahwa banyaknya pergeseran yang terjadi berbanding terbalik secara proporsional terhadap derajat polarisasi reaksinya. Secara matematis, ilustrasinya dinyatakan dalam suatu titik resolusi (reaksi evaluasi stimulus yang kompleks) yang diberi simbol PR.[28]

I p1I Ip2I

PR= ¾¾¾¾¾¾ P1 + ¾¾¾¾¾¾ P2

I p1I + I p2I I p1I + I p2I

Dalam illustrasi ini p1 dan p2 adalah evaluasi stimulus sedangkan I p1I dan I p2I adalah harga mutlaknya yang merupakan polaritas stimulus komponen. Dengan demikian umpama tampilan dosen memiliki nilai reaksi evaluatif sekitar +3 sedangkan cara mengajar memiliki nilai reaksi sebesar -1, maka titik resolusi bagi ‘cara guru tersebut mengajar’ adalah

3 1

PR= ¾¾¾¾¾¾ (3) + ¾¾¾¾¾¾ (-1)

3 + 1 3 + 1

3 1

PR= ¾¾ + ¾¾ = +2

4 4

Teori ini berbicara mengenai penilaian (reaksi evaluatif) terhadap dua stimulus yang berbeda dan mengenai hubungan antara penilaian tersebut. Pernyataan hubungan itu bisa bersifat asosiatif, (mendukung atau membenarkan) dan dapat disosiatif (menolak atau membenarkan).

Kesesuaian akan terjadi apabila dua objek yang ada hubungannya dinilai dengan intensitas yang sama. Sebagai contoh, seseorang yang sangat menyukai musik klasik dan mempunyai seorang kenalan yang tidak begitu akrab, suatu ketika mengetahui bahwa kenalannya itu ternyata juga suka musik klasik. Menurut teori ini mereka akan menjadi tambah akrab dan lebih saling menyukai sekaligus mungkin berkurang kesukaannya terhadap musik klasik sehingga intensitas sikap terhadap kenalan dan sikap terhadap musik klasik akan bergeser. Apabila dua objek yang berkaitan itu (kenalan dan musik klasik), telah dinilai dengan intensitas yang sama, maka tercapailah kesesuaian.

Implikasi prinsip kesesuaian pada teori mengenai sikap dan perubahannya didasarkan pada asumsi bahwa memiliki sikap yang sesuai terhadap dua objek yang saling berhubungan adalah lebih mudah dari pada memiliki sikap yang tidak sesuai terhadap masing-masing objek.

Prinsip kesesuaian ini berbeda dengan prinsip keseimbangan Heider. Dalam teori kesesuaian osgod pernyataan asosiatif maupun disosiatif mengenai suatu stimulus dianggap terjadi dengan sendirinya, sedangkan dalam teori keseimbangan Heider pernyataan mengenai hubungan stimulus lebih merupakan persepsi subjektif individu yang terlibat. Persamaan teori Heider dan Osgood, adalah keduanya sama-sama berbicara mengenai reaksi atau pernyataan yang pada hakekatnya bersifat kualitatif, walaupun dalam Osgood reaksi berupa sikap kemudian dikuantitatifkan.

3) Teori Konsistensi Afektif – Kognitif Rosenberg

Rosenberg memandang pengertian komponen kognitif sikap tidak saja sebagai apa yang diketahui mengenai objek sikap akan tetapi mencakup pula apa yang dipercayai mengenai hubungan antara objek sikap itu dengan nilai-nilai penting lainnya dalam diri individu. Selanjutnya dia mengemukakan tentang organisasi antara komponen afektif dan komponen kognitif sikap. Komponen afektif didefinisikan sebagai perasaan positif atau perasaan negatif yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu objek. Menurut Rosenberg, manusia mempunyai kebutuhan untuk mencapai dan memelihara konsistensi afektif- kognitif

Pusat perhatian utama Rosenberg dengan teorinyanya adalah konsepsinya mengenai apa yang terjadi dalam diri individu sewaktu terjadi perubahan sikap. Hipotesis utamanya adalah bahwa hakikat dan kekuatan perasaan terhadap suatu objek berkorelasi dengan pengertian mengenai objek tersebut . Dijelaskannya bahwa efek positif yang kuat dan stabil terhadap suatu objek tentu berkaitan dengan keyakinan bahwa efek positif itu akan membawa kepada tercapainya sejumlah nilai yang penting sedangkan efektif yang negatif tentu berkaitan dengan keyakinan bahwa efek negatif itu akan menjadi hambatan dalam mencapai sejumlah nilai-nilai yang penting.[29]

Hubungan antara komponen afektif dengan komponen kognitif dalam organisasi sikap digambarkan dalam pernyataannya, bahwa apabila komponen afektif dan komponen kognitif sikap saling konsisten satu sama lain, maka sikap akan berada dalam keadaan stabil, sebaliknya apabila kedua komponen yang dimaksud tidak konsisten satu sama lain maka sikap akan berbeda dalam ketidakstabilan dan akan mengalami aktivitas reorganisasi yang spontan sampai aktivitas itu berakhir pada salah satu keadaan, yaitu tercapainya konsistensi afektif-kognitif atau penempatan inkonsistensi yang tidak terselesaikan di luar batas kesadaran aktif.[30]

Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa apabila sikap yang semula stabil kemudian menghadapi perubahan yang di bawa oleh suatu kekuatan eksternal yang berpengaruh pada salah satu komponen afektif atau kognitif maka akan terjadi tekanan yang menghendaki perubahan pada komponen yang tidak berpengaruh. Oleh karena itu, untuk menimbulkan perubahan sikap manusia perlu diberikan tekanan-tekanan yang mengiringi perubahan sikapnya ke arah yang dikehendaki secara kuat dan terus menerus sedemikian rupa sehingga terjadi inkonsistensi yang kuat di antara komponen-komponen afektif dan komponen kognitif sikap individu yang bersangkutan.

Dengan demikian, tampak bahwa Rosenberg menekankan pentingnya usaha mempengaruhi komponen afektif agar komponen kognitif berubah dari sebaliknya, sementara para teoritis yang lain lebih menekankan pada cara mempengaruhi komponen-komponen kognitif untuk mengubah komponen afektif.

4) Teori Proses Perubahan Kelman

Kelman mengemukakan teori mengenai organisasi sikap dengan menekankan konsep mengenai berbagai cara atau proses yang sangat berguna dalam memahami fungsi pengaruh sosial terhadap perubahan sikap. Secara khusus Kelman menjelaskan adanya tiga proses sosial yang berperan dalam perubahan sikap, yaitu kesediaan (compliance), identifikasi (identification), dan internalisasi (internalization).[31]

(a) Kesediaan

Proses kesediaan terjadi, ketika individu bersedia menerima pengaruh dari orang lain atau dari kelompok lain dikarenakan ia berharap untuk memperoleh reaksi atau tanggapan positif dari pihak lain tersebut. Kesediaan menerima pengaruh pihak lain itu biasanya tidak berasal dari hati kecil seseorang akan tetapi lebih merupakan cara untuk sekedar memperoleh reaksi positif seperti pujian, dukungan, simpatik dan semacamnya sambil menghindari hal-hal yang dianggap negatif. Perubahan perilaku yang terjadi dengan cara seperti itu tidak akan dapat bertahan lama, dan biasanya hanya tampak selama pihak lain diperkirakan masih menyadari akan perubahan sikap yang ditujukan.

Namun demikian, kesediaan mengubah sikap dengan tujuan memperoleh reaksi positif tidak selalu berarti jelek, karena hal itu terkadang diperlukan dalam pergaulan sosial. Oleh karena itu proses kesediaan lebih merupakan perilaku, bukan perubahan sikap yang mendasarinya.

(b) Identifikasi

Proses identifikasi terjadi apabila individu meniru perilaku atau sikap seseorang atau kelompok, karena sikap tersebut sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai bentuk hubungan yang menyenangkan antara dia dengan pihak lain yang dimaksud. Pada dasarnya proses identifikasi merupakan sarana atau cara untuk memelihara hubungan yang diinginkan dengan individu atau kelompok lain dan cara untuk menopang pengertiannya sendiri mengenai hubungan tersebut.

Identifikasi tidak selalu dalam arti meniru sikap yang serupa, akan tetapi dapat juga berupa pengambilan sikap yang diperkirakan akan disetujui oleh pihak lain. Sebagai contoh, seorang siswa bersikap sesuai dengan yang diharapkan oleh gurunya, menjalankan nasehat serta saran guru dengan maksud untuk memelihara hubungan baik dengan guru yang memiliki harapan tertentu pada dirinya. Bentuk identifikasi yang lain adalah identifikasi dalam usaha memelihara hubungan individu dengan kelompok yang mengharapkannya agar bersikap sama. Dalam hal ini individu bersikap sesuai dengan harapan kelompok dan sesuai dengan peranannya dalam hubungan sosial dengan kelompok tersebut. Sebagai contoh, seorang mahasiswa akan bersikap sebagaimana layaknya sikap mahasiswa lain yang ada dalam kampus.

Dengan demikian, identifikasi dapat terjadi sekalipun sikap yang ditiru belum tentu sesuai dan memuaskan bagi individu yang bersangkutan akan tetapi membawa kepada kepuasan hubungan dengan orang lain. Kepuasan hubungan ini berkaitan dengan situasi tertentu tempat individu berada dan peran yang harus dibawakannya. Sebagai contoh seorang mahasiswa yang sudah berkeluarga akan bersikap sebagai sebagaimana layaknya mahasiswa apabila sedang berada di kampus atau di dalam kelas, akan tetapi dia akan mengidentifikasi sikap seorang ayah apabila sedang berada di rumah, dikarenakan sikap sebagai mahasiswa tidak akan membawa kepuasan hubungan apabila diperankan di lingkungan rumah dalam bergaul dengan anak-anaknya.

(c) Internalisasi

Internalisasi terjadi apabila individu menerima pengaruh dan bersedia bersikap menuruti pengaruh itu dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang ia percayai dan sesuai dengan sistem nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, isi dan hakekat sikap yang diterima itu sendiri dianggap oleh individu sebagai yang memuaskan. Sikap yang demikian itulah yang biasanya merupakan sikap yang dipertahankan oleh individu dan biasanya tidak mudah untuk berubah selama sistem nilai yang ada dalam diri individu yang bersangkutan masih bertahan.

Demikian tiga proses yang merupakan mekanisme perubahan sikap menurut konsep Kelman. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa proses mana dari ketiga proses tersebut yang akan terjadi, tergantung pada sumber kekuatan pihak yang mempengaruhi, berbagai kondisi yang mengendalikan masing-masing proses terjadinya pengaruh dan implikasinya terhadap permanensi perubahan sikap

5) Teori Nilai - Ekspektansi

Teori nilai- ekspektansi (expectancy-value theory) mengenai sikap, dikemukakan para pakar psikologi, misalnya Edward Chace Tolman dalam bukunya Purposive Behavior in Animal and Man yang terbit tahun 1932, mengemukakan konsepnya mengenai perilaku bertujuan; manusia belajar akan suatu harapan atau ekspektansi yaitu rasa percaya bahwa suatu respon perilaku akan membawa pada suatu peristiwa atau hal tertentu. Peristiwa atau hal tertentu itu akan memiliki nilai positif, apabila sesuai dengan harapan, dan akan memiliki nilai negatif apabila tidak sesuai dengan harapan atau tidak terjadi konfirmasi yang akan memperkuat rasa percaya manusia, bahwa suatu respon akan membawa kepada hal tertentu (kognisi). Manusia belajar untuk mengulang perilaku yang memiliki nilai positif. Apabila seseorang harus memilih akan

menentukan perilakunya, maka dia akan memilih alternatif yang mengandung utilitas (manfaat) subjektif tertinggi, yakni alternatif yang akan membawa kepada hasil yang paling menguntungkan.[32]

Utilitas subjektif yang diharapkan atau Subjective expected utility (SEU) diilustrasikan dalam rumus sebagai berikut:

n

SEU = å SPiUi

i=1

SEU = Utilitas subjektif yang diharapkan terkait dengan alternatif yang tersedia

SPi = Probabilitas subjektif bahwa pilihan akan membawa hasil

Ui = Nilai subjektif atau hasil i

Rumus ini menggambarkan, bhawa kepercayaan akan konsekuensi perilaku tertentu (SPi » bi) dan penilaian terhadap hasil yang berbeda (Ui » ei) sehingga SEU dapat diinterpretasikan sebagai sikap seseorang

terhadap perilaku (AB), maka rumus di atas dapat ditulis ulang sebagai berikut[33]:

n

AB = å biei

i=1

Analoginya, adalah bahwa sikap terhadap suatu objek sosial atau objek lainnya akan terbentuk dari interaksi kumulatif antara harapan individu terhadap konsekuensi perilaku dan penilaiannya terhadap hasil perbuatan.

c. Pengukuran Sikap

Salah satu aspek yang sangat penting untuk memahami sikap dan perilaku manusia adalah masalah pengukuran. Untuk itu masalah pengukuran sikap merupakan salah satu bahasan dalam bab ini.

Telah dijelaskan di muka, bahwa sikap merupakan respon evaluatif yang dapat berbentuk positif maupun negatif. Hal ini berarti bahwa dalam sikap terkandung preferensi atau rasa suka – tidak suka terhadap suatu objek sikap. Dengan demikian, seolah-olah sikap hanya berjalan pada satu dimensi kontinum afektif.

Pada dasarnya sikap dapat dipahami lebih dari sekedar seberapa favorabel tidak favorabelnya perasaan seseorang, atau lebih dari pada seberapa positif atau negatifnya. Sikap dapat diungkap dan dipahami dari dimensi yang lain. Sax menunjukkan beberapa karakteristik (dimensi) sikap yaitu arah, intensitas, keluasan, konsistensi, dan spontanitas.[34]

Sikap mempunyai arah, artinya sikap terpilah pada dua arah kesetujuan, yaitu apakah setuju atau tidak setuju, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah memihak atau tidak memihak terhadap sesuatu atau seseorang sebagai objek, Orang yang setuju, mendukung atau memihak terhadap suatu objek sikap, berarti memiliki sikap yang arahnya positif, sebaliknya mereka yang tidak setuju atau tidak mendukung dikatakan sebagai memiliki sikap yang arahnya negatif.

Sikap memiliki intensitas, artinya kedalaman atau kekuatan sikap terhadap sesuatu belum tentu sama walaupun arahnya mungkin tidak berbeda. Dua orang yang sama tidak suka terhadap sesuatu, yakni sama-sama memiliki sikap yang berarah negatif belum tentu memiliki sikap negatif sama intensitasnya. Orang pertama mungkin saja tidak setuju, tetapi orang kedua dapat saja sangat tidak setuju. Begitu juga sikap yang positif dapat berbeda kedalamannya bagi setiap orang, mulai dari agak setuju sampai pada kesetujuan yang ekstrim.

Sikap juga memiliki keluasan, maksudnya kesetujuan atau ketidak setujuan terhadap objek sikap dapat mengenai hanya aspek yang sedikit dan sangat spesifik akan tetapi dapat pula mencakup banyak sekali aspek yang ada pada objek sikap. Seseorang dapat memiliki sikap favorabel terhadap model penilaian portofolio secara menyeluruh , yaitu pada semua aspek dan kegiatan penilaian yang berbasis portofolio, sedangkan yang lain mungkin memiliki sikap positif yang lebih terbatas (sempit) misalnya hanya setuju pada model penugasannya saja.

Sikap juga memiliki konsistensi, maksudnya adalah kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan respon terhadap objek sikap yang dimaksud. Konsistensi sikap diperlihatkan oleh kesesuaian antara waktu. Untuk dapat konsisten, sikap harus bertahan dalam diri individu untuk waktu yang relatif panjang. Sikap yang sangat cepat berubah yang labil, tidak dapat bertahan lama dikatakan sebagai sikap yang inkonsisten. Konsistensi juga dapat diperlihatkan oleh tidak adanya kebimbangan dalam bersikap. Konsistensi dalam bersikap tidak sama tingkatannya pada setiap diri individu dan setiap objek sikap. Sikap yang tidak konsisten, tidak menunjukkan kesesuaian antara pernyataan sikap dan perilakunya atau yang mudah berubah-ubah dari waktu ke waktu akan sulit diinterpretasikan dan tidak banyak berarti dalam memahami serta memprediksi perilaku individu yang bersangkutan

Karakteristik sikap yang terakhir adalah spontanitasnya, yaitu menyangkut sejauhmana kesiapan individu untuk menyatakan sikapnya secara spontan. Sikap yang dikatakan memiliki spontanitas yang tinggi apabila dapat dinyatakan secara terbuka tanpa harus melakukan pengungkapan atau desakan lebih dahulu agar individu mengemukakan-nya. Hal ini tampak dari pengamatan terhadap indikator sikap atau perilaku sewaktu individu memiliki kesempatan untuk mengungkapkan sikapnya.

Pengukuran dan pemahaman terhadap sikap, idealnya harus mencakup semua dimensi tersebut di atas. Hal ini sangat sulit untuk dilakukan, bahkan mungkin sekali merupakan hal yang mustahil. Belum ada atau mungkin tak akan pernah ada instrumen pengukuran sikap hanya mengungkapkan dimensi arah dan dimensi intensitas saja, yaitu dengan hanya menunjukkan kecenderungan sikap positif atau negatif dan memberikan tafsiran mengenai derajat kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap respon individu.

Berbagai teknik dan metode telah dikembangkan oleh para ahli untuk mengungkapkan sikap dan memberikan interprestasi yang valid. Usaha pengukuran sikap dipacu oleh sebuah artikel yang ditulis oleh Louis Thurstone, pada tahun 1928 yang berjudul Attitude Can Be Measure Berikut adalah uraian mengenai beberapa di antara banyak metode pengungkapan sikap yang secara historic telah dilakukan.

1) Observasi Perilaku

Untuk mengetahui sikap seseorang terhadap sesuatu kita dapat memperhatikan perilakunya, sebab perilaku merupakan salah satu indikator sikap individu.. Namun demikian, merujuk pada postulat konsistensi yang telah diuraikan di muka, bahwa perilaku menjadi indikator yang tepat bagi sikap apabila sikap berada dalam posisi ekstrem. Pada umum konsistensi antara sikap dan perilaku hanya akan terjadi apabila kondisi dan situasi memungkinkan.

Seorang mahasiswi yang selalu hadir paling duluan dan duduk paling depan pada saat kuliah statistik, belum tentu memiliki sikap positif terhadap matakuliah Statistik, tetapi karena mahasiswa itu suka sama dosennya yang gantengnya selangit dan dia menaksirnya. Perilaku tertentu bahkan kadang-kadang sengaja ditampakan untuk menyembunyikan sikap yang sebenarnya. Mungkin saja ada mahasiswi yang selalu duduk di belakang pada saat kuliah Statistik, justru hanya untuk menutupi kesukaannya terhadap dosennya yang ganteng itu.

Dengan demikian, perilaku yang diamati mungkin saja dapat menjadi indikator sikap dalam konteks situasional tertentu, akan tetapi interprestasi sikap harus sangat berhati-hati apabila hanya didasarkan atas pengamatan terhadap perilaku yang ditimpakan.

2) Penanyaan Langsung

Asumsi yang mendasari metode bertanya langsung untuk mengungkapkan sikap, pertama adalah bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri, dan kedua adalah asumsi keterusterangan bahwa manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakan. Berdasarkan asumsi ini maka jika ingin mengetahui apakah seorang mahasiswa memiliki kesukaan terhadap mata kuliah statistik, maka tanya saja langsung pada mahasiswa yang bersangkutan, karena bisa jadi sekalipun dia begitu semangat mengerjakan tugas Statistik bukan karena dia suka tetapi karena terpaksa takut tidak lulus.

3) Pengungkapan Langsung

Suatu versi metode penanyaan langsung adalah pengungkapan langsung (direct assessment) secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan butir tunggal maupun dengan menggunakan butir ganda.

Prosedur pengungkapan langsung dengan butir tunggal, yaitu responden diminta menjawab langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda setuju atau tidak setuju. Penyajian dan pemberian respon yang dilakukan secara tertulis memungkinkan individu untuk menyatakan sikap secara lebih jujur apabila tidak perlu menuliskan nama atau identitasnya.

4) Skala Sikap

Metode pengungkapan sikap dalam bentuk self-report yang sampai saat ini diangap paling dapat diandalkan adalah dengan menggunakan daftar pernyataan-pernyataan yang harus dijawab oleh individu yang disebut sebagai skala sikap.

Skala sikap (attitude scale) berupa kumpulan pernyataan mengenai suatu objek. Respon subjek pada setiap pernyataan itu kemudian dapat disimpulkan mengenai arah dan intensitas sikap seseorang. Pada beberapa bentuk skala dapat juga diungkap mengenai keluasan serta konsistensi sikap

Penyusunan skala sikap sebagai instrumen pengungkapan sikap individu atau kelompok bukan hal yang mudah, betapa pun usaha dan kerja keras yang diupayakan dalam penyusunan skala sikap, tetap saja akan terdapat celah-celah kelemahan yang menyebabkan skala tersebut kurang berfungsi sebagaimana mestinya sehingga tujuan pengungkapan sikap yang diharapkan tidak seluruhnya tercapai.[35]

Pernyataan sikap (attitude expression) yang diperoleh dari suatu skala sikap, merupakan indikator sikap yang paling dapat diandalkan. Namun demikian, tidak berarti skala selalu dapat dipercaya sepenuhnya, dan selalu tepat mencerminkan sikap yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan ada berbagai faktor yang dapat menghambat penerjemahan sikap individu yang sebenarnya ke dalam pernyataan-pernyataan yang terdiri atas kalimat-kalimat yang maknanya terbatas.

Brannon meringkas beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam menyusun skala sikap, untuk mengeliminir kekurangan dari skala yang disusun, antara lain:

1. Alternatif jawaban, sering membatasi keluasan individu dalam mengkomunikasikan sikapnya, Respon yang diinginkan kemungkinan tidak terdapat di antara alternatif jawaban sehingga responden hanya dapat memilih yang paling mirip di antara yang ada.

2. Bahasa yang digunakan dalam skala tidak mampu mengungkapkan reaksi-reaksi asli dan tipikal. Istilah- istilah formal dan sopan, seperti ‘aktivitas seksual pranikah’ atau ‘latar belakang sosial buadaya’ sering kali tidak bukan merupakan istilah yang mudah dicerna dan diasosiasikan oleh responden Sejauhmana istilah itu dapat dikaitkan dengan sikap yang relevan sangat tergantung pada imajinasi atau minat responden dalam menjawab.

3. Pertanyaan-pertanyaan standar dan formal tidak mampu mengungkap-kan kompleksitas, nuansa-nuansa, atau pun warna sesungguhnya dari sikap individu yang sebenarnya. Setiap orang merasakan bahwa sikapnya memiliki tingkat kompleksitas, intensitas dan individualitas yang tidak sama yang tidak dapat dicerminkan oleh isi pertanyaan atau pernyataan standar yang umumnya terdapat dalam skala sikap.

4. Dalam setiap kumpulan respon yang diberikan oleh manusia tentu sedikit atau banyak akan terdapat error atau kekeliruan . Pada pernyataan sikap, error itu dapat berupa kekeliruan responden dalam membaca, memahami, atau menafsirkan pernyataan yang disajikan . kekeliruan mungkin pula dilakukan oleh pihak yang mencatat, memproses atau menganalisis jawaban responden.

5. Jawaban responden dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan mereka sendiri akan penerimaan sosial, persetujuan sosial, dan keinginan untuk tidak keluar dari norma yang dapat diterima oleh masyarakat.

6. Situasi interviu sebelum pengukuran, situasi sewaktu penyajian skala, karakteristik pernyataan sebelumnya, harapan subjek mengenai tujuan pengukuran, dan banyak lagi aspek yang ada dalam situasi pengungkapan sikap dapat mempengaruhi respon yang diberikan oleh individu.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengungkapan sikap bukan hal yang sederhana. Penggunaan skala sikap yang diakui sebagai metode pengumpulan sikap yang lebih unggul dari pada metode penanyaan langsung dan metode pengamatan perilaku tetap tidak lepas dari berbagai kelemahan

Proses pengungkapan sikap merupakan proses rentan terhadap berbagai kemungkinan error dikarenakan sikap itu sendiri merupakan suatu konstrak hipotetik atau konsep psikologis yang tidak mudah untuk dirumuskan secara operasional. Oleh karena itu, untuk mengurangi adanya error pengukuran skala sikap, harus dirancang dengan hati hati dan sungguh sungguh, ditulis dengan mengikuti kaidah kaidah penyusunan skala. Tentang kaidah-kaidah penyusunan skala dikemukakan para pakar pengukuran sikap, yang pada intinya kaidah-kaidah tersebut adalah:

1. Jangan menulis pernyataan yang membicarakan mengenai kejadian yang telah lewat, kecuali kalau objek sikapnya berkaitan dengan masa lalu;

2. Jangan menulis pernyataan yang berupa fakta atau dapat dikategorikan sebagai fakta.

3. Jangan menulis pernyataan yang dapat menimbulkan lebih dari dua penafsiran

4. Jangan menulis pernyataan yang tidak relevan dengan objek psikologisnya.

5. Jangan menulis pernyataan yang sangat besar kemungkinannya akan disetujui oleh hampir semua orang atau bahkan hampir tidak seorang pun yang akan menyetujuinya;

6. Pilihlah pernyataan-pernyataan yang diperkirakan akan mencakup keseluruhan liputan skala afektif yang diinginkan

7. Tulislah pernyataan dalam bahasa yang sederhana, jelas dan langsung

8. Setiap pernyataan hendaknya ditulis ringkas, hindari kata-kata yang tidak diperlukan

9. Setiap pernyataan harus berisi hanya satu ide yang lengkap.

10. Hindari penggunaan kata-kata yang bersifat universal, karena sering menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, kata: “tidak pernah, semuanya, selalu, tak seorangpun” dan sebagainya. Demikian juga dengan kata-kata yang sifatnya khusus, seperti: “hanya”, “sekedar”.

11. Jangan menggunakan kata-kata atau istilah yang mungkin tidak dapat dimengerti responden.

12. Hindari penggunaan kata yang berisi negatif ganda

13. Jangan membuat pernyataan yang berisi social desirability, berisi hal-hal yang akan disetujui semua responden, karena pernyataannya menggambarkan sesuatu yang dianggap sudah semestinya berlaku dan diterima oleh norma masyarakat. Misalnya pernyataan: “Menjaga kebersihan lingkungan adalah kewajiban semua”

Merujuk pada berbagai konsep sikap seperti telah dikemukakan di atas, makna sikap yang lebih operasional untuk dijadikan dasar dalam mengidentifikasi sikap sosial mahasiswa terkait dengan penelitian ini adalah pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli Psikologi Sosial, dengan tokoh-tokoh seperti Breckler (1984), Katz & Stotland (1954), Rejecki, (1982). Mereka memandang sikap sebagai kombinasi reaksi kognitif, afektif dan perilaku terhadap suatu objek. Ketiga komponen itu secara bersama mengorganisasikan sikap individu. Pendekatan ini yang dikenal dengan triadic scheme, disebut juga pendekatan tricomponent. Dengan demikian pengertian sikap yang akan dijadikan rujukan dalam penelitian ini adalah respon positif atau negatif yang berdimensi kognitif apektif, dan konatif, diwujudkan seseorang pada saat berhadapan dengan objek sosial, yakni suatu pola jalinan individu dan atau kelompok yang membentuk kesatuan berdasarkan aturan-aturan, nilai-nilai yang dianut bersama.

Sikap sosial adalah evaluasi seseorang terhadap nilai-nilai dalam kelompok sebagai hasil interaksi antara individu dalam kelompok. Nilai-nilai yang dimaksud diantarnya; (1) Keterbukaan (berterusterang, jujur, tanggung jawab) (2) Empati (menghindari menilai benar salah, hangat) (3) Komunikasi (mendengarkan, berbicara, sopan) (4) Kerjasama (bersahabat, peduli). Kelompok yang dimaksud adalah kelompok dalam pembelajaran Metodologi Penelitian, maka individu yang dimaksud adalah komponen-komponen yang terlibat dalam pembelajaran, khususnya mahasiswa.

Dengan demikian aspek-aspek dan indikator nilai-nilai sosial yang akan diukur untuk menunjukkan sikap sosial mahasiswa dapat digambarkan pada tabel berikut:

Tabel 2.7: Nilai-nilai Sosial Untuk Mengukur Sikap Sosial Mahasiswa

No

Aspek

Indikator

1.

Keterbukaan

Berterus terang pada teman

Bersedia untuk bersikap jujur

Bersedia untuk bertanggung jawab

2.

Berempati

Menghindari menilai benar salah

Menunjukkan sikap yang hangat pada teman

Merasakan apa yang dirasakan orang

3.

Mendukung komunikasi

Senang berkomunikasi

Menciptakan suasana mendukung komunikasi

Bersedia mendengarkan pendapat teman

Mampu berbicara dalam forum

Menggunakan kesempatan untuk berbicara

Santun dalam berbicara

4.

Kerjasama

Bersahabat

Tidak mengendalikan orang lain

Tidak menyinggung orang lain

Mengkomunikasikan keinginan

Mengubah pendapat pribadi

Tolong menolong



[1] E.B. Reuter, The Social Attitude : Journal of Applied Sociology (The University of Lowa: http//www.ed.gov/databases/Reuter/Vol.8:97:101 (15 Sep 2008), p.4

[2] J. Reven, Education, Value, and Society : The Objectives of Education and the Nature and Development of Competence (London: HK Lewis & Co. Ltd1994), p.43

[3] H.L. Winecoff, Value Educatonal Models (Hand Out Perkuliahan Pendidikan Nilai pada Jurusan Pendidikan Umum Program S2 PPS IKIP Bandung, 19987), p.24

[4] ibid

[5]A. Fraizer, Value, Curriculum, and the Community Schools (London: Houghton Miffin Company,1990), p. 54

[6] Reven, op. cit, p.46

[7] Joseph A. Devito, Human Communication (alih bahasa) Agus Maulana dkk, Komunikasi Antar Manusia (Jakarta: Profesional Book, 1997), p.113

[8] Robert A Baron & Donn Byrne, Social Psychology (Tenth Edition) : Alih Bahasa Ratna Djuwita dkk, (Jakarta: Erlangga, 2004), p.120

[9] Ibid

[10] Baron and Byrne, op.cit, p,120

[11] A.L Edwards, Techniques of Attitude Scale Construction (New York: Appleton Century Croft, Inc., 1957), p.92

[12] ibid.

[13] David O. Sears, Jonathan L. Freedman, and L. Anne Peplau, Psikologi Sosial, alih bahasa Michael Adryanto dan Savitri Sookrisno (Jakarta: Erlangga 1985), p.136

[14] Saifuddin Azwar, Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), p.6

[15] Azwar, op.cit, p. 30

[16] Ibid

[17] Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar (Jakarta: Erlangga, 1989), p.27

[18] Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1977), pp. 11-12

[19] Wilis Dahar, op.cit, p.120

[20] Bandura, op.cit, p,125

[21] Sear, dkk, op.cit, 149

[22] Baron and Byrne, op.cit, p. 127

[23] Ibid

[24] P.F. Secord & C.W. Backman, Social Psychology (New York: McGraw-Hill Book Company, 1964), p.102

[25] Ibid, p.105

[26] M. Fishbein & Icek. Ajzen, Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and research (Philippines: Addison –Wesley Publishing Company, INC., 1975), p.288

[27] C.E. Osgood., G.J. Suci, & P.H Tannenbaun., The Measurement of Meaning, 2nd edition (Belmont:Wadsworth Publishing Company, 1980), p.102

[28] Ibid, p.104

[29] Fishbeein & Ajzen, op.cit, p.206

[30] P.F. Secord & C.W. Backman, Social Psychology (New York: McGraw-Hill Book Company, 1964), p.79

[31] J.C. Brigham, Social Psychology, 2nd edition , (New York HarperCilin Publisher Inc, 1991), p.231

[32] B.R. Hergenhahn, An Introduction to Theories of Learning (Englewood Cliffs, N.J: Pentice-Hall, Inc., 1982), p.77

[33] Fishbein & Ajzen op.cit, p.234

[34]G. Sax, Principle of Educational and Psychological Measurement and Evaluation 2nd Edition ( Belmont: Wadsworth Publishing Company, 1980), p.67

[35] Azwar, op.cit, p.95